Di era di mana eksistensialisme, nihilisme, dan stoisisme semakin meluas, kata-kata dalam kitab Pengkhotbah terasa sangat relevan. Ditulis oleh “Sang Pengkhotbah,” teks Alkitab yang enigmatik ini mengeksplorasi kefanaan hidup, pencarian makna, dan hubungan manusia dengan ilahi. Meskipun Pengkhotbah lahir dari pandangan dunia ribuan tahun lalu, makna filosofisnya sejalan dengan wacana kontemporer, menjadikannya relevan sekarang seperti pada zaman dahulu.
Pada intinya, eksistensialisme berusaha memahami absurditas alam semesta—ketegangan antara pencarian makna manusia dengan alam semesta yang tampaknya tak memberikan jawaban. Pengkhotbah mencerminkan perjuangan ini. Tulis "Sang Pengkhotbah", pasal pertama Pengkhotbah dibuka dengan judul “Segala sesuatu sia-sia”. Kitab ini dibuka dengan suatu pertanyaan filosofis yang kerap kali muncul dalam benak manusia, apakah gunanya manusia berusaha dengan jerih payah dibawah matahari? Jika segala sesuatu adalah sia-sia, lalu apakah gunanya? Sama seperti Albert Camus dengan mitos sisipus-nya, “Sang Pengkhotbah” menjelaskan bahwa manusia menjalani hidup yang berulang, sebuah rutinitas tanpa henti yang menjemukan. Bangun tidur, sekolah, bekerja, menikah, pulang, “Tidak ada yang baru dibawah matahari.”
“Kesia-siaan atas kesia-siaan, kata Pengkhotbah, segala sesuatu adalah sia-sia.” - Pengkhotbah 12:8
terdengar seperti gema pemikiran eksistensialis, menyoroti kesia-siaan pengejaran duniawi seperti kekayaan, kesenangan, dan kerja keras.
Namun, sementara filsuf eksistensialis seperti Albert Camus dan John Paul Sartre menganjurkan menciptakan makna pribadi meskipun hidup absurd, "Sang Pengkhotbah" menawarkan jalan yang lebih halus. Renungannya menekankan pada menemukan kebahagiaan dalam momen-momen kecil sehari-hari—makan, minum, dan menikmati kerja—bukan sebagai pemberontakan terhadap absurditas hidup seperti yang dikatakan oleh Camus, melainkan sebagai pengakuan atas keindahan hidup yang sementara.
"Dan bahwa setiap orang dapat makan, minum dan menikmati kesenangan dalam segala jerih payahnya, itu juga adalah pemberian Allah." - Pengkhotbah 3:13
Dalam arti tertentu, pendekatan "Sang Pengkhotbah" mendahului gagasan eksistensialis tentang hidup secara autentik di tengah kefanaan hidup.\
Meskipun nihilisme sering berakhir dengan kesimpulan bahwa hidup tidak memiliki makna bawaan, Pengkhotbah tampaknya menggoda keputusasaan semacam itu tanpa sepenuhnya menyerah padanya. Pertanyaan "Sang Pengkhotbah" yang tak henti-hentinya—apa gunanya kerja keras, jika kematian datang untuk orang bijak dan orang bodoh?—terdengar seperti deklarasi Nietzsche bahwa “Tuhan sudah mati.”
"Ingatlah akan Penciptamu pada masa mudamu, sebelum tiba hari-hari yang malang dan mendekat tahun-tahun yang kaukatakan: "Tak ada kesenangan bagiku di dalamnya!", " - Pengkhotbah 12:1
Namun, tidak seperti nihilisme, Pengkhotbah tidak menolak keberadaan ilahi. Sebaliknya, kitab ini mengakui keterbatasan pemahaman manusia dan mendorong penghormatan terhadap Tuhan sebagai misteri tertinggi. Keseimbangan antara keraguan dan iman ini menjadikan Pengkhotbah sebagai tandingan nihilisme, menawarkan bukan keputusasaan, melainkan penerimaan rendah hati terhadap ketidakpastian hidup.
"Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaanyang dilakukan Allah dari awal sampai akhir." - Pengkhotbah 3:11
Pengkhotbah memiliki keselarasan yang kuat dengan filsafat stoik dalam penekanannya pada menerima apa yang tidak bisa dikontrol. Renungan “Sang Pengkhotbah” tentang waktu—“Untuk segala sesuatu ada masanya”—mengingatkan kita pada konsep stoik amor fati, cinta pada takdir.
"Ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa; ada waktu untuk meratap; ada waktu untuk menari:" - Pengkhotbah 3:4
Kedua filsafat ini mendorong hidup selaras dengan siklus alami kehidupan, menyadari bahwa melawan hal yang tak terelakkan adalah sia-sia.
Selain itu, nasihat “Sang Pengkhotbah” untuk menikmati kesenangan sederhana dalam hidup sejalan dengan praktik stoik bersyukur pada momen saat ini. Fokus bersama pada moderasi dan kepuasan ini menawarkan kerangka kerja praktis untuk menghadapi kekacauan kehidupan modern, di mana keinginan untuk mengontrol sering kali berakhir dengan kekecewaan.
Pengkhotbah berbicara dengan kuat kepada dunia yang sedang bergulat dengan pertanyaan eksistensial. Di tengah kemajuan teknologi yang pesat, kecemasan terhadap masa depan, dan pergolakan sosial, renungan “Sang Pengkhotbah” mengingatkan kita akan batasan pencapaian manusia dan kefanaan eksistensi. Penekanannya untuk menemukan kebahagiaan dalam momen saat ini menawarkan penyeimbang terhadap keinginan tanpa akhir yang mendefinisikan kehidupan modern.
Bagi mereka yang tertarik pada eksistensialisme, Pengkhotbah menegaskan perjuangan untuk menemukan makna sambil menyarankan resolusi yang lebih lembut dan penuh harapan. Bagi mereka yang menghadapi kekosongan nihilisme, kitab ini menawarkan perspektif yang membumi dalam kerendahan hati dan iman. Dan bagi mereka yang mempraktikkan stoisisme, kitab ini memperkuat kebijaksanaan untuk menerima hidup sebagaimana adanya, menemukan kepuasan di saat ini.
Pengkhotbah bukanlah kitab yang menawarkan jawaban mudah. Kitab ini tidak menyelesaikan ketegangan hidup, melainkan mengundang pembaca untuk merenung dan berpikir di dalamnya, menemukan keindahan dan kebijaksanaan di tengah ketidakpastian. Dalam kedalaman filosofis dan kejujuran puitisnya, Pengkhotbah menjembatani kesenjangan antara iman yang dianggap kuno dan pemikiran modern, menawarkan wawasan abadi bagi mereka yang menavigasi kompleksitas keberadaan saat ini.
Di akhir perikop kitab ini. "Sang Pengkhotbah" mengingatkan bahwa, didalam ketidakpastian dan absurditas hidup, dalam kejemuan rutinitas manusia, dan didalam segala jerih payah manusia dibawah matahari, takutlah akan Allah dan segala perintahnya.
"Akhir kata dari segala yang didengar ialah: takutlah akan Allah dan berpeganglah pada perintah-perintahny-Nya, karena ini adalah kewajiban setiap orang." - Pengkhotbah 12:13