Dalam Alkitab, tidak secara rinci dijelaskan bagaimana cara jemaat mula-mula beribadah. Alkitab hanya mencatat bahwa jemaat selalu berkumpul untuk bersekutu dan beribadah (Kis 2:42), namun tidak secara detail menggambarkan bagaimana pelaksanaan ibadah tersebut. Secara umum, para rasul beribadah layaknya umat Yahudi di zamannya. Karna pada dasarnya mereka adalah umat Yahudi yang telah percaya bahwa Yesus adalah Mesias. Mereka pergi ke Bait Allah (Kis 3:1, Kis 21:26), sembahyang pada jam-jam tertentu (Kis 3:1, Kis 10:9), dan lain sebagainya. Bahkan Yesus pun dikisahkan dalam Injil juga masuk beribadah ke Bait Allah dan sinagoga-sinagoga (Mat 12:9, Mrk 1:21, Luk 4:16).
Meski mengikuti pola ibadah Yahudi, namun jemaat mula-mula memaknai ibadah-ibadah itu dengan berpusat pada Kristus, sebagai penggenapan akan hukum yang lama (Kol 2:17). Karenanya, sebagai komunitas baru yang berbeda dengan umat Yahudi kebanyakan, jemaat mula-mula memiliki kebiasaan yang erat kaitannya dengan pengurbanan Kristus, yakni “memecahkan roti”. Kitab Suci memberi kesaksian pada kita bahwa memecahkan roti menjadi kebiasaan rutin yang dilakukan jemaat (Kis 2:42, Kis 2:46, Kis 20:7, Kis 20:11), karena diperintahkan langsung oleh Kristus ketika Perjamuan Terakhir (Luk 22:19). Namun tidak dijelaskan secara rinci bagaimana mereka melaksanakannya.
Mengapa penting untuk kita mengetahuinya? Mungkin banyak dari kita berpikir tidak penting pelaksanaannya, yang penting sikap hati kita kepadaNya. Saya setuju. Sikap dan kesungguhan hati menunjukan kasih kita padaNya. Namun alangkah baik pula jika kita menelusuri lebih jauh bagaimana para rasul, yang diajar langsung oleh Yesus, melaksanakan ibadahnya yang bersifat liturgis. Karena cukup banyak diantara kita yang masih memandang rendah pola ibadah liturgis, karena terkesan kaku, bahkan menganggap tidak sesuai dengan Alkitab. Padahal Alkitab sendiri mencatat jemaat mula-mula melaksanakan ibadah liturgi. Dalam Kisah Para Rasul 13:2 dicatat, “Pada suatu hari ketika mereka beribadah kepada Tuhan….”. Dalam bahasa aslinya dikatakan, “λειτουργούντων (Leitourgunton) δὲ αὐτῶν τῷ Κυρίῳ..”, yang jika diterjemahkan harafiah, “Pada suatu hari ketika mereka berliturgi kepada Tuhan…”. Jadi para rasul dan jemaat mula-mula pun beribadah secara liturgis. Sehingga penting untuk kita memahaminya, agar kita tidak kehilangan benang merah dan nilai penting yang diwariskan pada kita. Tata cara yang tepat, dapat membantu memaksimalkan penghayatan kita akan PribadiNya, FirmanNya, dan Karya KeselamatanNya.
Bersyukur kita dapat mengetahui pelaksanaan ibadah yang dilakukan jemaat mula-mula dari tulisan seorang murid bernama Yustinus Martir. Beliau seorang Bapa Gereja yang hidup sekitar tahun 135 M. Jadi beliau mengerti betul bagaimana kehidupan jemaat mula-mula, karena beliau menghidupi langsung dan bertemu dengan murid-murid yang diajar oleh para rasul Kristus. Tulisan Yustinus yang terkenal antara lain First Apology (150) yang di dalamnya memuat ajaran tentang peribadatan. Dalam bab 61-67, Yustinus menuliskan secara ringkas tentang tata cara penyembahan Kristiani, dimulai dengan Baptisan. Ia menulis demikian:
“Tetapi kami, setelah kami membaptisnya, yaitu ia yang telah menjadi percaya dan taat kepada ajaran kami, kami membawanya ke tempat di mana mereka yang disebut jemaat dikumpulkan, supaya kami bersama dapat mempersembahkan doa-doa khusuk untuk kami maupun untuk mereka yang dibaptis, dan semua orang di mana-mana, supaya kami dianggap layak; sekarang bahwa kami telah belajar tentang kebenaran, dengan perbuatan-perbuatan kami menjadi para warga yang baik dan pelaksana perintah-perintah Tuhan, supaya kami dapat diselamatkan dengan keselamatan kekal. Setelah doa- doa tersebut selesai, kami menghormati seorang dengan yang lainnya… Lalu, dibawalah kepada pemimpin jemaat, roti dan piala anggur yang dicampur dengan air; dan ia mengambil itu, memberi pujian dan kemuliaan kepada Bapa alam semesta, melalui nama Putera dan Roh Kudus, dan mempersembahkan ucapan syukur yang cukup panjang karena kami dianggap layak untuk menerima semua ini dari tangan-Nya. Dan ketika ia [pemimpin jemaat] telah selesai dengan doa dan ucapan syukur, semua orang yang hadir mengucapkan persetujuan mereka dengan mengatakan, Amin. Perkataan Amin adalah jawaban di dalam bahasa Ibrani yang artinya, “terjadilah demikian”. Dan ketika pemimpin telah mengucapkan terima kasih, dan semua orang telah menyatakan persetujuan mereka, mereka yang kami panggil “diakon” memberikan kepada semua yang hadir untuk dapat mengambil bagian roti dan anggur yang dicampur dengan air…. Dan makanan ini kami kenal dengan sebutan Ekaristi, dan tak seorangpun boleh mengambil bagian di dalamnya, selain ia yang percaya bahwa hal-hal yang kami ajarkan adalah benar dan ia yang telah dibaptis untuk penghapusan dosa-dosa, dan untuk kelahiran kembali, dan ia yang hidup sesuai dengan ajaran Kristus. Sebab bukanlah seperti roti dan minuman biasalah yang kami terima, tetapi, seperti Yesus Kristus Penyelamat kita, yang telah menjelma menjadi daging oleh Sabda Allah, mempunyai daging dan darah untuk penyelamatan kita, demikianlah juga, kami diajarkan bahwa makanan yang telah diberkati oleh doa dari Sabda-Nya dan dari perubahannya tubuh dan darah kita dikuatkan, adalah daging/tubuh dan darah Yesus yang telah menjelma menjadi daging. Sebab para rasul, dalam ajaran-ajaran Yesus yang mereka susun yang disebut Injil, telah menurunkan kepada kita apa yang telah diajarkan kepada mereka; yaitu bahwa Yesus mengambil roti, dan ketika Ia telah mengucap syukur, berkata, “Lakukanlah ini sebagai peringatan akan Daku, inilah Tubuh-Ku: Dan lalu dengan cara yang sama, setelah mengambil piala dan mengucap syukur, Ia berkata, “Inilah Darah-Ku”, dan memberikannya kepada mereka….” (First Apology, ch. 65-66)
“Dan pada hari yang disebut Minggu, semua yang hidup di kota maupun di desa berkumpul bersama di satu tempat, dan ajaran-ajaran para rasul atau tulisan-tulisan dari para nabi dibacakan, sepanjang waktu mengizinkan; lalu ketika pembaca telah berhenti, pemimpin ibadah mengucapkan kata-kata pengajaran dan mendorong agar dilakukannya hal-hal yang baik tersebut. Lalu kami semua berdiri dan berdoa, dan seperti dikatakan sebelumnya, ketika doa selesai, roti dan anggur dan air dibawa, dan pemimpin selanjutnya mempersembahkan doa-doa dan ucapan syukur… dan umat menyetujuinya, dengan mengatakan Amin, dan lalu diadakan pembagian kepada masing- masing umat, dan partisipasi atas apa yang tadi telah diberkati, dan kepada mereka yang tidak hadir, bagiannya akan diberikan oleh diakon. Dan mereka yang mampu dan berkehendak, memberikan (persembahan) yang dianggap layak menurut kemampuan mereka, dan apa yang dikumpulkan oleh pemimpin, ditujukan untuk menolong para yatim piatu dan para janda dan mereka yang, karena sakit maupun sebab lainnya, hidup berkekurangan, dan mereka yang ada dalam penjara dan orang asing di antara kami, pendeknya, ia (pemimpin) mengatur [pertolongan bagi] semua yang berkekurangan. Tetapi hari Minggu adalah hari di mana kami mengadakan ibadah bersama, sebab hari itu adalah hari yang pertama, yaitu pada saat Tuhan, setelah mengadakan pengubahan dalam kegelapan dan materia, telah menciptakan dunia; dan Yesus Kristus Penyelamat kita pada hari yang sama telah bangkit dari mati. Sebab Ia telah disalibkan pada hari sebelum hari Saturnus (Sabtu); dan pada hari setelah hari Saturnus, yaitu hari Minggu, setelah menampakkan diri kepada para rasul dan murid-Nya, Ia mengajarkan kepada mereka hal-hal ini…..” (First Apology, ch. 67)
Dari kesaksian Yustinus diatas, kita mengerti bagaimana cara dan susunan ibadah liturgi yang dilakukan oleh jemaat mula-mula. Ingat, Yustinus menulis kesaksian ini sekitar tahun 150 M, artinya susunan ibadah yang tertulis diatas sudah dilakukan jauh sebelum itu. Dan menariknya, susunan ibadah ini masih dilakukan oleh gereja-gereja rasuli pada zaman ini. Mari kita telaah satu per satu :
1. Beribadah pada hari Minggu
“Dan pada hari yang disebut Minggu, semua yang hidup di kota maupun di desa berkumpul bersama di satu tempat..”
Jemaat mula-mula sudah menetapkan hari Minggu sebagai hari dimana umat berkumpul untuk beribadah. Hal ini bisa kita lihat dalam Kisah Para Rasul 20:7 dan 1 Korintus 16:2, dimana “pada hari pertama dalam minggu itu, ketika kami berkumpul untuk memecah-mecahkan roti, ….”. Jelas tertulis bahwa hari Minggu merupakan hari untuk jemaat mula-mula mengadakan ibadah perjamuan. Dan hal ini sesuai dengan kesaksian Yustinus diatas. Hari Minggu dipilih karena di hari inilah Kristus bangkit dari antara orang mati (Markus 16:9, Lukas 24:1, Yoh 20:1), seperti kesaksian Yustinus diatas, “Tetapi hari Minggu adalah hari di mana kami mengadakan ibadah bersama, sebab hari itu adalah hari yang pertama, yaitu pada saat Tuhan, ….telah bangkit dari mati”.
2. Pembacaan Kitab Suci dan Khotbah
“...dan ajaran-ajaran para rasul atau tulisan-tulisan dari para nabi dibacakan, sepanjang waktu mengizinkan; lalu ketika pembaca telah berhenti, pemimpin ibadah mengucapkan kata-kata pengajaran dan mendorong agar dilakukannya hal- hal yang baik tersebut.”
Pada zaman jemaat mula-mula, Alkitab belum menjadi satu buku yang kita kenal sekarang. Karenanya, jemaat dapat mengerti isi Kitab Suci dari pembacaan-pembacaan dalam ibadah. Hal ini merupakan kebiasaan yang sudah dilakukan oleh orang Yahudi sebelum Yesus, dimana Taurat dan kitab nabi-nabi dibacakan di rumah ibadat setiap sabat (Kis 13:27, Kis 15:21). Dan diteruskan oleh jemaat mula-mula, dimana Rasul Paulus menyuruh surat-surat kirimannya dibacakan dalam pertemuan jemaat (Kol 4:16, 1 Tes 5:27).
Dari kesaksian Yustinus, ada dua jenis kitab yang dibacakan dalam ibadah, yakni “ajaran-ajaran para rasul” (Kitab Injil dan Surat-surat Rasul) dan “tulisan-tulisan nabi” (kitab-kitab Perjanjian Lama). Kitab Perjanjian Lama dibacakan karena didalamnya berisi nubuat kedatangan Kristus. Dan Surat-Surat Rasul dibacakan untuk mengingat bahwa Kristus disampaikan kepada kita oleh pemberitaan para rasul. Hal ini masih kita jumpai dalam ibadah-ibadah di gereja rasuli, dimana kitab Perjanjian Lama dan Baru dibacakan.
Kemudian setelah pembacaan kitab, pemimpin ibadah memberikan khotbah untuk meneguhkan iman jemaat. Disini pemimpin ibadah berperan sebagai nabi yang menyampaikan firman Allah. Pemimpin ibadah ini bukan Worship Leader yang kita kenal sekarang, melainkan Gembala (terjemahan Alkitab: Penatua), atau Uskup (terjemahan Alkitab: Penilik) setempat yang memimpin ibadah dari awal hingga akhir.
3. Doa Umat / Syafaat
“Lalu kami semua berdiri dan berdoa…”
Disini pemimpin ibadah berdiri bersama-sama dengan jemaat melambungkan doa-doa kepada Allah. Dalam praktik sekarang, setiap pemimpin ibadah mengucapkan satu pokok doa, umat membalas dengan mengucapkan “kabulkanlah doa kami ya Tuhan” atau “Tuhan kasihanilah”.
4. Doa Ucapan Syukur (Eucharistia / Ekaristi)
“Lalu, dibawalah kepada pemimpin jemaat, roti dan piala anggur yang dicampur dengan air; dan ia mengambil itu, memberi pujian dan kemuliaan kepada Bapa alam semesta, dalam nama Putera dan Roh Kudus, dan mempersembahkan ucapan syukur yang cukup panjang karena kami dianggap layak untuk menerima semua ini dari tangan-Nya. Dan ketika ia [pemimpin jemaat] telah selesai dengan doa dan ucapan syukur, semua orang yang hadir mengucapkan persetujuan mereka dengan mengatakan, Amin"
Sebelum membagikan perjamuan, pemimpin ibadah berperan sebagai imam, mempersembahkan ucapan syukur kepada Allah atas roti dan anggur itu. Disinilah inti dari ibadah jemaat mula-mula, karena dalam prosesi ini imam mengulang kembali detik-detik dimana Yesus mengangkat roti dan mengucap syukur dalam Perjamuan Terakhir, lalu berkata pada murid-muridNya, “Terimalah dan makanlah, inilah TubuhKu yang diserahkan bagi kamu”, kemudian imam mengangkat piala anggur lalu berkata “Minumlah kamu semua, inilah DarahKu, darah perjanjian baru yang ditumpahkan bagi kamu”. Dalam doa ucapan syukur ini, imam juga memohon agar Roh Kudus mengubah roti dan anggur ini menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Dan seluruh umat dengan penuh khidmat, memandang pada roti dan anggur yang diangkat itu dan serentak mengucapkan “Amin”, karena itulah Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia.
Yustinus tidak memberikan rumusan ucapan syukur yang didoakan oleh pemimpin ibadah. Namun kita tahu isi doa ucapan syukur ini dari Bapa Gereja yang lain, yakni Hipolitus, dimana beliau menyebut doa ini dengan sebutan “anafora”, yang artinya “mengangkat tinggi/mempersembahkan”. Dalam tulisannya, The Apostolic Tradition, dituliskan demikian:
“Tuhan bersamamu”, dan biarlah semua menjawab: “Dan bersama roh-mu”. “Marilah mengarahkan hati kepada Tuhan”: “Sudah kami arahkan kepada Allah”. “Marilah bersyukur kepada Tuhan”. “Sudah layak dan sepantasnya.” Dan biarlah ia melanjutkan: Kami bersyukur kepada-Mu, ya Allah, melalui Putera-Mu yang terkasih, Yesus Kristus, yang di zaman akhir ini telah Kau-utus kepada kami, Penyelamat dan Penebus dan Utusan kehendak-Mu; yang adalah Sabda-Mu yang tak terpisahkan, yang melalui-Nya Engkau telah menciptakan segala sesuatu dan yang di dalam-Nya Engkau berkenan; yang telah Engkau utus dari surga ke dalam rahim Sang Perawan, dan yang, dengan dikandung, menjelma menjadi daging dan ditunjukkan menjadi Putera-Mu, dilahirkan dari Roh Kudus dan oleh seorang Perawan; yang untuk menggenapi kehendak-Mu dan mempersiapkan bagi-Mu bangsa yang kudus, telah merentangkan tangan-Nya saat Ia menderita supaya Ia dapat melepaskan dari penderitaan, mereka yang telah percaya kepada-Mu.
Ia yang ketika dikhianati sampai kepada menderita dengan rela supaya Ia dapat menghalau kematian dan memutuskan ikatan iblis dan menghancurkan neraka dan menerangi orang-orang benar dan mendirikan perjanjian dan menyatakan kebangkitan, mengambil roti, mengucap syukur kepada-Mu dan berkata: “Terimalah dan makanlah, inilah Tubuh-Ku yang dipecahkan bagimu”. Demikian pula, [mengambil] piala itu, dan berkata: “Inilah Darah-Ku yang ditumpahkan bagimu: lakukanlah ini sebagai kenangan akan Aku.”
Maka, dengan mengenangkan wafat dan kebangkitan-Nya, kami mempersembahkan kepada-Mu roti dan piala ini, mengucap syukur kepada-Mu karena Engkau menganggap kami layak untuk menghadap-Mu dan berbakti kepada-Mu. Dan kami mohon semoga Engkau mengutus Roh Kudus atas kurban Gereja-Mu yang kudus; untuk mempersatukan mereka bersama dalam kesatuan, agar Engkau memberi kepada semua orang kudus yang mengambil bagian dalamnya supaya mereka dapat dipenuhi oleh Roh Kudus untuk menguatkan iman mereka dalam kebenaran, sehingga kami dapat memuji dan memuliakan Engkau melalui Putera-Mu, Yesus Kristus, yang melalui-Nya kemuliaan dan hormat bagi-Mu, Bapa, dan Putera dan Roh Kudus, dalam Gereja-Mu yang kudus, sekarang dan selama-lamanya. Amin.”
Dalam rumusan Doa Ucapan Syukur lainnya, yang diucapkan oleh imam, selain menceritakan rumusan iman yang dipegang oleh jemaat, juga menceritakan narasi keselamatan dari mulai kejatuhan manusia, pengutusan para nabi, hingga puncaknya pada karya Salib yang Yesus lakukan untuk menghapus dosa kita. Betapa fokus ibadah jemaat mula-mula ini berpusat pada Kristus dan Karya SalibNya. Tiada ibadah jika tidak ada Salib yang menyelamatkan, dan ini terus diulang-ulang dalam setiap ibadah. Penting untuk kita renungkan, apakah dalam ibadah kita kini selalu memberitakan salib Tuhan atau tidak?
5. Komuni / Pembagian Roti dan Anggur
“...Dan ketika pemimpin telah mengucapkan terima kasih, dan semua orang telah menyatakan persetujuan mereka, mereka yang kami panggil “diakon” memberikan kepada semua yang hadir untuk dapat mengambil bagian roti dan anggur yang dicampur dengan air… dan kepada mereka yang tidak hadir”
Setelah imam mempersembahkan ucapan syukur dan memohon agar roti dan anggur ini diubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus, roti dan anggur dibagikan kepada semua jemaat. Jemaat mengimani bahwa roti dan anggur ini benar-benar Tubuh dan Darah Kristus, serta menyantapnya supaya menyatu dan bersekutu dengan Kristus (1 Kor 10:16). Dalam praktik jemaat mula-mula, tidak sembarang orang boleh ambil bagian dalam perjamuan ini. Dapat dilihat dari tulisan Yustinus diatas, “Dan makanan ini kami kenal dengan sebutan Ekaristi, dan tak seorangpun boleh mengambil bagian di dalamnya, selain ia yang percaya bahwa hal- hal yang kami ajarkan adalah benar dan ia yang telah dibaptis untuk penghapusan dosa-dosa, dan untuk kelahiran kembali, dan ia yang hidup sesuai dengan ajaran Kristus. Sebab bukanlah seperti roti dan minuman biasalah yang kami terima”. Hal ini tepat seperti yang dituliskan Rasul Paulus, “Jadi barangsiapa dengan cara yang tidak layak makan roti atau minum cawan Tuhan, ia berdosa terhadap tubuh dan darah Tuhan” (1 Kor 11:27).
Akhir kata, memang benar bahwa Yesus tidak memerintahkan secara langsung praktik ibadah yang dikehendakiNya. Karena memang iman kita bukanlah hukum syariat yang wajib ditaati supaya selamat. Roh Kudus dapat bekerja dengan berbagai cara, baik dalam keheningan dan kekhusyukan liturgis, pun juga dalam sorak sorai puji-pujian bagi Dia. Namun akan disayangkan jika kita kehilangan benang merah dan makna terdalam dari ibadah liturgis, yang adalah pola kehidupan ibadah jemaat mula-mula, sebagai kelanjutan dari ajaran Sang Kristus (1 Kor 11:23). Terlebih saya menjadi sedih apabila banyak yang mengeluhkan ibadah liturgis membuat ngantuk dan bosan, akhirnya berinovasi dengan pernak-pernik modern supaya ibadah menjadi lebih mengasyikan. Penting kita ingat, bahwa segala sesuatu adalah tentang Dia, termasuk ibadah kita. Jangan sampai karena faktor perasaan dan kenyamanan kita, membuat pelaksanaan ibadah menjadi berpusat pada diri kita, bahkan lebih buruknya, sekedar menghibur kita.
Bagi saya pribadi, cara jemaat mula-mula beribadah sudah lebih dari cukup untuk menuntun saya pada penghayatan akan Dia. Karena di dalamnya mengandung sarana pengudusan yang memurnikan batin kita hari ke hari. Tak hanya itu, pada ibadah yang dilakukan jemaat mula-mula, Salib Kristus menjadi yang terutama. Setiap kali ibadah, semua umat berfokus melihat pada Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia, yang dihadirkan dan dihayati kembali dalam Kurban Perjamuan. Karena itulah inti ibadah Kristiani, yang sayangnya hampir hilang diganti dengan pernak-pernik yang menghibur perasaan. Tetapi dengan kesaksian jemaat mula-mula diatas, kiranya membuat kita makin mengerti kembali garis besar ibadah kita. Biarlah melalui pewartaan firman dalam ibadah semakin meneguhkan iman, harapan, dan kasih kita padaNya. Dan bersekutu dengan pengurbananNya dalam perjamuan, menyucikan batin kita menuju keserupaan dengan Kristus, yang kita kasihi itu. Sehingga kita dipandang layak untuk menyatu dalam kemuliaan yang abadi, bersama Allah Sang Bapa, melalui FirmanNya yang kekal, dan RohNya yang Suci. Segala kemuliaan hanya bagi Dia!