Reborn
  
MENCANDAI KEMATIAN
Dipublikasikan pada 18 Juli 2021
5 min baca

Jumat sore (16/7) kemarin saya dalam perjalanan pulang dari krematorium. Ini minggu yang padat dengan pelayanan pemakaman dan kremasi yang silih berganti. Setiba di pertigaan Jl.Kutisari Selatan dan Jl.Kutisari Selatan IV, ada seorang bapak yang membantu mengatur lalu lintas supaya arus kendaraan di pertigaan itu lancar. Bagi yang sering melalui titik itu (apalagi mahasiswa/i UK Petra Surabaya) pasti tak asing dengan bapak (yang saya lupa tanya namanya) ini. Sejak dulu ia rajin melakukan tugasnya dengan daya tarik kostum yang berganti-ganti setiap hari. Terkadang dia pakai kostum tentara, lain hari ia pakai kostum prajurit Roma, dst.

Sore itu saya terhenyak dengan kostum yang ia pilih. Seingat saya ini bukan kali pertama ia memakai kostum ini. Tapi khusus yang kali ini respon saya berbeda. Saya turun dan meminta istri saya memfoto kami berdua. Setelah itu saya memberi sedikit uang sembako (saya dimarahi nanti sama jemaat kalau bilang uang rokok) sekedar sebagai ucapan thank you. Hari itu si bapak memakai kostum pocong serba putih dengan aksen logo palang merah di beberapa titik, lengkap dengan make up tengkorak di wajah.

Seperti saya bilang, karena sering lewat pertigaan ini dan melihat aksi si bapak, saya ingat betul kalau kostum serupa ini pernah beberapa kali ia pakai. Tapi yang membuat kali ini terasa beda buat saya, adalah suasana batin sekeliling (baca: Indonesia) yang sedang dalam kondisi senafas dengan kostum si bapak. Kita sedang dalam masa-masa di mana berita kematian silih berganti masuk melalui media sosial maupun WAG. Lagi ramai-ramainya. Kita merasa ngeri dengan ini semua. Tapi lha kok di tengah situasi begini ia malah bercanda begitu? Di tengah dunia yang sedang melihat kematian dengan penuh kengerian, si bapak malah seolah mengejek kematian dengan berkostum jenazah. Bisa jadi ada orang yang melihat itu dan bergumam pedas: Sungguh sama sekali tidak berempati!

Tapi kalau saya pribadi nggak merasa gimana-gimana sih dengan ini. Bagi saya kematian itu memang ‘kurang ajar’. Kita sering dipaksa menerima kehadirannya dengan penuh keterkejutan. Tiba-tiba. Tanpa persiapan. Apalagi di masa pandemi ini; datangnya beruntun tak pakai hati. Sama sekali tanpa empati!

Lalu, kalau se’kurang ajar’ itu kematian memperlakukan kita, kenapa harus kita ‘baik-baik’ sama mereka? Sikap ngece (Jawa: mengejek) kematian, seperti yang bapak berkostum jenazah (pocong) itu lakukan buat saya adalah sepadan. Ia sedang mengajak kita menertawakan kematian, demi membalas kelakuan kematian yang seringkali menertawakan kita.

Paulus pernah bilang: “Hai maut di manakah kemenanganmu? Hai maut, di manakah sengatmu?” (1 Korintus 15:55). Maut (Yun: thanatos) dia tantangin. Sekedar pengetahuan buat kita, dalam mitologi Yunani, Thanatos adalah dewa kematian. Dia membawa kematian yang tenang dan damai. Berkebalikan dengan saudaranya, Ker, si pembawa kematian yang menyakitkan. Tapi rupanya tak menjadi soal apakah kematian itu tenang atau menyakitkan; Thanatos tetaplah dianggap sebagai sosok yang membenci dan dibenci oleh manusia dan para dewa. Alasannya, karena ia tak punya belas kasihan dan tak pandang bulu. Dia datang kapan saja semaunya, dia memburu siapa saja sesuka dia.

Mungkin saat-saat ini adalah momentum yang tepat buat kita belajar mencandai kematian. Karena kalau bagi saya pribadi, daripada saya yang melulu dijadikan obyek candaan oleh si Thanatos, dan kemudian saya ketakutan, frustasi, dan hanya bisa mengurung diri; mending saya memilih sikap Paulus yang berdiri gagah menantang maut. Paulus punya konfidensi tinggi berhadapan dengan maut karena ia percaya penuh bahwa “…Allah, yang telah memberikan kepada kita kemenangan oleh Yesus Kristus Tuhan kita." (1 Korintus 15: 55).

Saya bukan pendeta sakti yang anti kena covid. Saya punya potensi kena jackpot yang sama dengan Anda atau siapa saja. Tapi saya nggak mau jadi orang yang harus takluk di bawah kuasa kematian yang menakutkan itu. Kalaupun someday saya kena juga pada akhirnya, ya diobati. Karena penyakit ini punya potensi kesembuhan yang sangat tinggi (ini yang seringkali orang lupa). Tapi kalaupun sudah diobati, nggak sembuh, dan saya mati, itu artinya waktu saya berangkat ke Sorga sudah tiba.

Kalau rumah di Sana sudah siap kan ya memang harus pulang toh (Yohanes 14:1-3).

Selamat Hari Minggu semua. Selamat belajar mencandai kematian. Jangan biarkan kematian yang malah mencandai Anda hehe.

Bagikan
Artikel Lainnya
Lihat Artikel Lainnya
7 Orang Membaca