
Bacaan: Ayub 19:23-27
Memiliki iman di tengah kondisi baik dan sukacita seringkali dianggap lebih mudah dilakukan dibanding dalam kondisi susah dan penuh derita. Tetapi hal itu tidak selalu benar, sebab saat berada dalam kondisi baik dan sukacita, seseorang bisa saja menjadi lupa dan terlena pada apa yang dimiliki, begitu pula saat dalam kondisi susah dan penuh derita seseorang bisa saja justru semakin dekat dan mengandalkan Tuhan. Namun memang harus diakui bahwa kondisi susah dan penuh derita dapat membuat iman tergerus, muncul perasaan kosong dan juga pertanyaan-pertanyaan eksistensi tentang “dimanakah Tuhan?”
Barangkali itulah yang juga tengah dirasakan oleh Ayub, perasaan ditinggalkan dan mempertanyakan semua hal dibalik yang ia alami. Kehilangan orang terkasih (anak laki-laki, perempuan), pesuruhnya, banyak ternaknya, penderitaan fisik, tidak mendapat dukungan dari istrinya, dan kedatangan ketiga sahabatnya untuk berbelasungkawa atas penderitaannya menjadi penegasan betapa menderitanya Ayub pada saat itu. Ditengah situasi ini, pergolakan iman terjadi, Ayub sempat merutuki hari kelahirannya dan menuduh Tuhan bertindak tidak adil. Walaupun mengalami ini semua, Ayub tetap percaya dan memberikan ruang bagi Allah untuk memprosesnya.
Itulah iman Ayub, iman yang bukan hanya percaya karena melihat sesuatu yang baik terjadi, namun tetap percaya walaupun belum nampak kelihatan indah baginya. Ungkapan merutuki berubah menjadi pernyataan iman, “aku tahu penebusku hidup, dan akhirnya Ia akan bangkit membelaku di atas debu.” Inilah proses pembentukan iman yang dialami oleh Ayub, ketika ia berada di titik terendah, kehilangan segalanya. Ayub memilih untuk tetap percaya kepada Allah sebab Allah yang ia percaya adalah Allah yang hidup, yang tidak meninggalkannya. Inilah yang membuat Ayub memiliki pengharapan, bahwa ditengah badai yang ia lalui, ia tidak berjalan sendirian.
Melalui Ayub, kitapun diingatkan kembali, tidak hanya hujan berkat yang bisa kita rasakan, terkadang badai yang begitu besar juga kita rasakan. Saat badai itu datang, bisa saja kita mempertanyakannya kepada Tuhan, namun proses bertanya itu harus disertai iman, sehingga bertanya bukan karena tidak percaya tetapi kesadaran akan kerapuhan diri. Bukalah diri, nikmati perjalanan di tengah badai itu bersama Tuhan, sekalipun dunia mengatakan semuanya sia-sia, namun kita tahu bahwa perjalanan kita bukanlah tanpa arti.