Reborn
  
TAAT PADA SANG PEMULIH
Dipublikasikan pada 21 Desember 2025
6 min baca

Bacaan: Matius 1:18–25

Kita berada dalam masa Advent, masa penantian umat Tuhan. Advent adalah waktu ketika gereja diajak untuk berhenti sejenak, menanti dengan sadar, dan membuka hati bagi karya Allah yang sedang dan akan digenapi. Kita menantikan terang di tengah kegelapan, pengharapan di tengah kebingungan, dan keselamatan di tengah dunia yang terluka.

Menariknya, konsep penantian dan ketaatan ini juga sangat akrab dalam dunia militer. Di tengah ketidakpastian medan, seorang prajurit dilatih untuk menunggu komando dengan penuh kesiapsiagaan, menjaga hati dan pikirannya tetap fokus pada misi. Penantian bukanlah sikap pasif, melainkan kesiapan aktif untuk taat ketika perintah diberikan.

Dalam dunia militer, ketaatan adalah prinsip yang tidak bisa ditawar. Ia menopang disiplin, menentukan keberhasilan misi, dan bahkan menyelamatkan nyawa. Ketaatan bukan sekadar mengikuti perintah secara teknis, tetapi ketaatan yang sadar tujuan, terarah, dan berorientasi pada misi. Di medan tugas, apalagi dalam situasi darurat, tidak ada ruang untuk perdebatan. Perintah tidak untuk didiskusikan, tetapi untuk dilaksanakan.

Demikian pula dengan apa yang kita sebut sebagai ketaatan tanpa syarat, immediate obedience. Dalam dunia militer, ketaatan harus dilakukan dengan segera, bahkan ketika perintah itu tidak sepenuhnya dipahami, mengandung risiko, dan bertentangan dengan kenyamanan pribadi. Namun ketaatan seperti ini bukanlah ketaatan buta. Dalam sistem militer yang profesional, setiap perintah tetap dibatasi oleh hukum, etika, dan aturan pelibatan. Ketaatan lahir dari karakter yang terlatih, bukan dari paksaan sesaat.

Saudara-saudara, dalam operasi militer, satu orang yang tidak taat dapat membahayakan seluruh unit. Ketaatan menciptakan kesatuan gerak. Kesatuan gerak menyelamatkan nyawa. Karena itu, ketaatan dipahami sebagai tanggung jawab moral terhadap rekan seperjuangan. Ketaatan selalu terkait dengan loyalitas kepada negara, kepada konstitusi, kepada satuan, dan kepada sesama prajurit.

Prinsip yang sama kita temukan dalam firman Tuhan hari ini, melalui kisah Yusuf, suami Maria, seorang yang dipanggil Allah untuk taat di tengah masa penantian yang tidak mudah.

Menariknya, saudara-saudara, sepanjang Alkitab, Yusuf tidak pernah mengucapkan satu kata pun. Tidak ada dialog. Tidak ada perkataan yang dicatat. Namun hidupnya bersuara sangat lantang melalui ketaatannya. Di masa Advent, ketika kita belajar menanti dalam iman, Yusuf mengajarkan bahwa penantian sejati sering kali dinyatakan melalui ketaatan, bukan melalui kata-kata.

Kebingungan dan dilema Yusuf merupakan bagian penting dari kisah kelahiran Yesus. Ia mendapati bahwa Maria, tunangannya, hamil sebelum mereka hidup bersama sebagai suami istri. Dalam budaya Yahudi pada masa itu, pertunangan hampir setara dengan pernikahan dan hanya dapat diputuskan melalui perceraian resmi. Kehamilan di luar pernikahan dianggap perzinahan, dengan konsekuensi hukum yang sangat berat bahkan hukuman rajam. Di sinilah Yusuf berada dalam dilema yang sangat dalam. Sebagai orang yang benar dan taat pada Hukum Taurat, ia tahu bahwa ia tidak dapat melanjutkan pernikahan itu. Namun di sisi lain, Yusuf adalah pribadi yang tulus dan penuh belas kasih. Ia tidak mau mempermalukan Maria di depan umum atau menyeretnya ke dalam bahaya hukum. Karena itu, ia memilih jalan yang paling lunak: menceraikannya secara diam-diam. Keputusan ini menunjukkan hati Yusuf. Ia taat pada hukum, tetapi juga menghidupi belas kasih. Ia berada di antara kebenaran dan kasih, sebuah pergumulan yang sering juga kita alami dalam masa penantian Advent, ketika jawaban Tuhan belum sepenuhnya jelas.

Secara pribadi, Yusuf pasti merasakan kekecewaan, kebingungan, bahkan patah hati. Namun ketika ia sedang menimbang-nimbang dan bergumul dalam diam, Tuhan tidak tinggal diam. Allah turun tangan. Di tengah keheningan penantian, malaikat Tuhan menampakkan diri kepadanya dalam mimpi. Melalui malaikat Gabriel, Allah memberikan perintah sekaligus jaminan: Yusuf harus mengambil Maria sebagai istrinya, karena anak yang dikandungnya adalah dari Roh Kudus. Inilah penggenapan nubuat nabi Yesaya. Inilah karya Allah yang sedang digenapi keselamatan yang dinantikan umat-Nya dari generasi ke generasi. Dan di sinilah kita melihat ketaatan Yusuf yang sejati. Alkitab berkata dengan sederhana namun penuh kuasa:

“Yusuf bangun dari tidurnya dan melakukan seperti yang diperintahkan malaikat Tuhan itu.”

Tidak ada bantahan. Tidak ada pertanyaan. Tidak ada penundaan. Yusuf bangun, lalu taat. Ia mengambil Maria sebagai istrinya, tidak bersetubuh dengannya sampai ia melahirkan seorang anak laki-laki, dan ia menamai Anak itu Yesus.

Melalui ketaatan ini, Yusuf mempertaruhkan reputasinya. Ia siap disalahpahami. Ia siap menanggung risiko sosial. Namun ia memilih taat kepada Allah daripada mempertahankan kenyamanan dan nama baiknya sendiri. Inilah ketaatan dalam terang Advent, ketaatan yang membuka jalan bagi terang Kristus masuk ke dunia. Ketaatan sejati sering kali tidak dimulai ketika kita memahami segalanya, tetapi ketika kita percaya kepada Allah yang setia menepati janji-Nya. Orang yang taat bukanlah orang yang tidak pernah bimbang. Orang yang taat juga bisa bingung. Namun di tengah kebingungan itulah, ia memilih untuk tetap menanti dan melangkah bersama Tuhan.

Kiranya di masa Advent ini, ketaatan Yusuf meneguhkan kita untuk taat kepada Sang Pemulih, sambil menanti dengan setia, berharap dengan teguh, dan percaya bahwa Allah sedang menggenapi janji-Nya, meskipun jalan yang kita lalui tidak selalu mudah dan terang itu belum sepenuhnya kita lihat.

Bagikan
Artikel Lainnya
Lihat Artikel Lainnya
Bagikan Artikel Ini