Bacaan: Kejadian 18: 1-10a
“Ramah” atau “marah”, hurufnya sama persis, namun secara hakikat dan sifat sangat bertolakbelakang. Saya berpikir ini sesuatu yang menarik untuk kita renungkan. Sikap ramah berkebalikan dengan marah. Mana yang lebih sering terjadi dalam kehidupan kita? Apakah kita suka bersikap ramah atau lebih suka marah-marah?
Kemarahan merupakan sikap batin seseorang yang merasa terluka, lalu mengekspresikan dengan tutur kata dan tindakan yang dapat menimbulkan luka bagi sesama maupun dirinya sendiri. Luka itu bisa dalam bentuk luka batin atau fisik. Sebaliknya keramahan merupakan gerak batin dalam diri seseorang untuk menerima dan menyambut sesamanya dengan hati, wajah, dan ekspresi gembira.
Bila mengingat nyanyian anak-anak yang dinyanyikan pada ibadah anak, kita diingatkan kembali tentang nilai hidup yang dikehendaki Tuhan. Bahwa ramah tamah adalah salah satu karakter, sifat dan nilai hidup yang dikehendaki Tuhan. Kita dipanggil untuk menunjukkan dan menyaksikannya dalam kehidupan sehari-hari. Sebab, keramahtamahan pada sesama sesungguhnya merupakan bentuk keramahtamahan pada diri sendiri dan wujud syukur kepada Tuhan.
Kejadian 18:1-10a, mengisahkan keramahtamahan keluarga Abraham dan Sara. Ketika ada tiga orang asing datang ke kemahnya, Abraham menerima mereka dengan tangan terbuka. Abraham memahami bahwa mereka adalah utusan Tuhan. Hal ini dapat kita ketahui dari Kejadian 18:1, di mana sebelum ketiga orang itu datang ke kemah Abraham, Tuhan telah menampakkan diri kepadanya terlebih dahulu.
Keramahtamahan Abraham menerima ketiga tamu membuahkan berkat yang tak terkira, sesuatu yang “wow”, amat menakjubkan yaitu mendapatkan peneguhan atas janji Allah bahwa Abraham akan diberi gelar sebagai “bapa segala bangsa” melalui kelahiran anknya dari rahim Sara. Kisah ini mengingatkan tentang perlunya menerima kehadiran sesama dengan mengembangkan praktik hidup yang ramah. Kesediaan menerima sesama mendatangkan berkat tersendiri.
Ada pepatah berbunyi, “Banyak teman, banyak rezeki”. Pepatah ini ada benarnya. Dengan pertemanan dan persahabatan yang tulus bersama banyak orang, berkat dialami, dirasakan dan dirayakan. Abraham dan keluarganya memberikan contoh bagaimana membangun persahabatan melalui keramahtamahan. Tentu saja, hal ini harus diawali atau dimulai dari pengalaman perjumpaan dengan Allah (Kej.18:1), dan dilanjutkan dengan penerimaan terhadap sesama. Penerimaan dan keramahtamahan pada sesama sejatinya merupakan nilai hidup yang bersumber dari Tuhan. Sebab keramahtamahan merupakan praktik hidup beriman kepada Tuhan. Keramahtamahan merupakan nilai dan wujud hidup yang bersyukur kepada Tuhan. Amin.