Reborn
  
Hubungan atau Doktrin: Mana yang Paling Utama?
Dipublikasikan pada 03 Maret 2024
8 min baca

Pertanyaan ini sering muncul dalam diskusi-diskusi seputar keimanan. Dan tentu melahirkan ragam pemikiran yang cenderung bertentangan, khususnya di Kekristenan sendiri. Ketika muncul pertanyaan, mana yang lebih penting antara doktrin atau hubungan kita dengan Tuhan dan sesama? Ada yang berpendapat bahwa doktrin yang terutama diatas segalanya. Karena tanpa doktrin yang benar, tidak mungkin bisa mengenal Allah secara benar. Pemikiran ini menolak segala bentuk kompromi terhadap doktrin yang ada. Tapi ada juga yang berpendapat bahwa hubungan diatas segalanya, melebihi doktrin-doktrin yang ada. Pemikiran ini biasanya berangkat dari keresahan akan banyaknya perdebatan seputar doktrin, sehingga esensi Kekristenan tentang cinta itu menjadi tertutupi. Role model pemikiran ini adalah Yesus sendiri, yang selalu dipertentangkan dengan Ahli-Ahli Taurat dan Farisi yang cenderung agawami. Yesus dipandang sebagai sosok yang selalu merangkul kaum terpinggirkan dan mengkritik keras kaum-kaum agamawan, yang selalu berkutat pada urusan doktrin.

Dalam kutub yang ekstrim, mereka yang mendahulukan doktrin, cenderung memandang yang lain sebagai liberal dan kompromi. Sementara, yang mendahulukan hubungan, memandang yang lain sebagai “Ahli Farisi” modern, yang terjebak dalam ruh agamawi. Tak jarang dalam beberapa gereja yang saya kunjungi, ada beberapa gereja yang berfokus pada satu aspek saja. Misal ada gereja yang fokus menekankan doktrin kepada jemaatnya, ada yang menekankan penyembahan, ada yang menekankan misi penginjilan, ada yang menekankan kemanusiaan diatas segalanya, dan yang paling sedih, ada yang menekankan berkat-berkat kepada jemaatnya. Bagaimana mendamaikan pemikiran ini? Karena nyatanya pertanyaan ini yang selalu jadi topik diskusi di semua agama, tidak hanya Kekristenan saja.

Jika saya ditanya pertanyaan seperti ini, saya akan menelaah lebih jauh tentang pertanyaan itu dan mengajukan pertanyaan baru. Mengapa dua hal itu harus dipertentangkan? Bagi saya keduanya menjadi pilar utama ketika seseorang mengikut Tuhan. Saya teringat ayat dari Yakobus 2:26 :

“Sebab seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikian jugalah iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati.”

Iman tidak bisa berjalan tanpa perbuatan yang menyertainya. Iman tanpa perbuatan, adalah iman yang mati. Demikian pula, perbuatan tanpa iman, menurut saya adalah perbuatan yang semu. Keduanya harus berjalan beriringan ketika kita hidup sebagai pengikut Kristus. Sepanjang saya merenung dan berziarah, saya menemukan ada 3 aspek yang harus berjalan seimbang dalam Kekristenan, yakni iman yang benar, ibadah yang benar, dan cara hidup yang benar. Saya mendasari pemikiran ini dari Efesus 4:13 :

“Sampai kita semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus”

Iman yang benar

“...mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah…”. Iman disini berbicara tentang pengenalan yang benar tentang Tuhan dan firmanNya. Ini menjadi pondasi awal untuk seseorang mengikut Tuhan. Yesus yang selalu mengkritik Ahli Taurat dan Kaum Farisi, tetap mengakui bahwa ajaran yang mereka bawa adalah kebenaran, karena mereka meneruskan ajaran dan takhta Musa (Mat 23:2), hanya Yesus memperingatkan agar kita jangan menuruti perbuatannya yang tak sesuai dengan ajarannya (Mat 23:3). Ketika bercakap-cakap dengan perempuan Samaria, Yesus menolak ajaran orang Samaria dan menegaskan kembali doktrin yang benar, bahwa keselamatan datang dari bangsa Yahudi (Yoh 4:20-22).

Jadi Yesus pun juga menekankan pentingnya ajaran yang benar, bahkan mengutuk dan membenci para penyesat (Mat 18:17, Why 2:6). Para Rasul pun juga punya sikap yang tegas terhadap mereka yang membawa ajaran yang tidak sesuai dengan ajaran para Rasul (Gal 1:8, 2 Yoh 1:10). Karenanya, para Rasul terus mengingatkan kita untuk memegang ajaran yang diteruskan kepada kita oleh mereka (1 Kor 11:2, Yud 1:17). Mengapa Yesus dan para Rasul menekankan iman yang benar? Karena aspek ini berpengaruh terhadap keselamatan kita. Iman yang benar akan menuntun orang pada keselamatan yang Tuhan sediakan (2 Tim 3:14-15). Tentu tidak berarti hal ini membawa kita pada sikap superior terhadap yang lain, karena Kekristenan tidak hanya berdasar pada aspek ini saja, namun ada 2 aspek lainnya yang juga penting.

Ibadah yang benar

“...kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus….. Aspek ini berbicara tentang hubungan kita dengan Tuhan. Sehebat-hebatnya kita berteologi, tanpa hubungan yang dekat dengan Tuhan, semuanya itu sia-sia. Iman yang benar akan melahirkan hubungan yang intim denganNya. Justru dari iman itu kita sadar, bahwa kita adalah manusia yang berdosa, yang memerlukan rahmat agar kita dapat kembali padaNya. Menyatu dengan Allah adalah tujuan hidup orang percaya, dan hal ini bisa kita capai apabila kita terus menerus mematikan daging dan mengalami rahmat pengudusan dalam ibadah dan doa-doa. Jika keselamatan kita terima melalui iman yang benar, maka menghidupinya menjadi aspek yang penting pula (Flp 2:12).

Kekristenan tanpa rahmat pengudusan melalui ibadah dan kehidupan spiritual, adalah Kekristenan yang mati. Karena dengan memiliki hubungan dengan Tuhan itulah, kita dapat menantikan janji Kristus, bahwa orang yang percaya kepadaNya, akan masuk dalam kemuliaan yang abadi (Yoh 10:27-28). Dan ketika kita telah memiliki iman yang benar, Allah rindu untuk kita selalu memiliki sikap hati seorang pendosa yang dengan rendah hati berdoa, “Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini” (Luk 18:13).

Cara Hidup yang benar

Disinilah kerinduan Kristus yang telah memanggil kita, supaya kita menghasilkan buah yang dapat dirasakan orang disekeliling kita (Yoh 15:8, 16). Iman yang benar akan melahirkan kehidupan yang benar. Seseorang yang beriman dan memiliki hubungan dengan Tuhan, pastilah akan memanusiakan sesamanya. Jadi tak perlu dipertentangkan antara agama dan kemanusiaan. Pengikut Kristus yang sejati dipanggil untuk menjadi dampak dan merangkul orang-orang yang terpinggirkan, seperti yang Yesus teladankan. Tak mungkin orang mengaku beriman, tapi tidak mengasihi sesamanya, seperti ada tertulis, “Jikalau seorang berkata: "Aku mengasihi Allah," dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya.” (1 Yoh 4:20). Karenanya beriman pada Tuhan dan mengasihi sesama adalah paket yang tak terpisahkan. Seorang yang mengasihi sesama dengan kasih Tuhan, tentu akan membela mereka yang tertindas, menghargai mereka yang berbeda, mengasihi mereka yang membenci kita, dan berusaha hidup berdamai dengan semua orang (Ibr 12:14).

Jadi, masihkan kita mempertentangkan antara keduanya, padahal jelas aspek-aspek tersebut yang wajib ada dalam kehidupan kita. Bahkan Yesus pun sudah menegaskan untuk kita mengasihi Tuhan dengan segenap hati, segenap jiwa, segenap akal budi, dan segenap kekuatan (Mrk 12:20). Jadi tidak cukup jika kita hanya menonjolkan satu aspek saja, tanpa melibatkan aspek yang lain. Doktrin yang benar tanpa adanya hubungan dengan Tuhan, hanyalah filsafat dan pengetahuan akademis yang tak membawa kepada keselamatan. Demikian pula hubungan dengan Tuhan tanpa adanya doktrin yang benar, hanyalah hubungan semu yang menjurus pada kesesatan. Doktrin yang benar tanpa cara hidup yang benar, akan membawa kita pada kemunafikan dan sikap mengkafirkan orang lain. Demikian pula cara hidup yang benar tanpa doktrin yang benar, hanyalah etika moral yang tidak didasari oleh kasih Allah.

Berat memang, tapi itulah salib yang harus kita pikul untuk mengiring Dia, supaya melalui ketiga aspek tersebut, kita terus menerus menyatu dengan Allah melalui FirmanNya di dalam RuhNya.

Kategori
Bagikan
Artikel Lainnya
Lihat Artikel Lainnya
10 Orang Membaca