Reborn
  
KENAPA BERITA SUKA?
Dipublikasikan pada 11 Juli 2021
6 min baca
“Kematian itu seperti Film Horor, ditakuti tapi digemari” (Ariel A.Susanto)

Demikianlah quote yang saya bikin sendiri, setelah mengamati perilaku manusia terhadap kematian selama periode pandemi. Saya sendiri sudah beberapa kali melayani pemakaman & kremasi anggota jemaat, simpatisan, maupun mereka yang tak termasuk dalam dua kategori tersebut. Di peristiwa kematian, kehadiran pendeta dibutuhkan.

Namun yang saya amati begini: sedemikian besar rasa kuatir manusia terhadap kematian karena terpapar, sedemikian besar pula rasa gemar manusia terhadapnya. Kok gemar? Ya, berita duka membanjiri sosial media dan WhatsApp Group (WAG) seolah tanpa henti. Habis berita yang satu mati, yang lain menyusul tak lama kemudian. Dan kalau kita mau teliti, bukankah di balik semua pemberitaan ini tetaplah manusia yang berperan untuk memproduksi narasi (kematian), membagikannya, dan membagikannya lagi (dan seterusnya).

Dan kerelaan hati untuk meneruskan dan terus meneruskan lagi narasi (kematian) adalah kunci sukses dari persebaran. Persis seperti para penonton film horror di bioskop bukan? Mereka menjerit-jerit sambil menutup mata ketakutan ketika menonton adegan-adegan mengerikan, padahal keputusan mereka untuk memilih ‘film itu’ adalah keputusan bebas, tanpa paksaan dari siapapun. Mereka beli tiket ‘film itu’ dengan sadar, tanpa ada sepucuk pistolpun yang tertodong ke kepala. Di masa pandemi ini, manusia yang paling takut dengan kematian, manusia pulalah yang terus antusias memberi panggung bagi pemberitaan akan kematian.

Tapi bukankah tak jarang (malah sering) kabar duka mendadak muncul di sosial media kita tanpa kita ‘undang’? Tiba-tiba saja kabar itu muncul di WAG tanpa permisi. “Saya nggak suka, tapi nongol begitu saja Pak, termasuk dari broadcast Mbak MINJE (adMIN gki JEmursari).”

Oke, saya mengerti bila Anda merasa ada di posisi tersebut. Posisi yang tidak bisa memilih. Karena meskipun saat ini kita masih dilarang untuk berkerumun secara fisik, namun tak ada halangan bagi kita untuk berkumpul secara virtual. Lewat berbagai platform teknologi kita sejatinya tetap berhimpun bersama manusia lain. Dan di dalam sebuah kerumunan banyak orang, kita tak bisa mendikte apa yang kita mau dan apa yang tidak mau orang lain lakukan.

Kalau Anda adalah sosok seperti itu, saya mau menawarkan sebuah project yang bisa kita kerjakan bersama. Ya, project BERITA SUKA. Caranya gampang: saya yang tiap hari buat narasinya, Mbak Minje yang broadcast ke nomor Anda, dan tolong teruskan pesan itu seluas-luasnya (lingkar pergaulan) Anda. Kita coba sama-sama imbangi setiap narasi kepedihan dan ketakutan dengan narasi-narasi kegembiraan, pengharapan, dan kesembuhan.

Andai Anda masih ragu pada ajakan saya ini, saya coba sajikan data ya. Ini data dari Facebook Kementerian Kesehatan RI yang menyatakan bahwa per 9 Juli 2021 ada 2.023.548 orang sembuh dan 64.631 orang yang meninggal karena terpapar. Tentu saya tak ingin menganggap sepele angka 64.631 itu. Bagi yang pernah nonton langsung Persebaya di tribun Gelora Bung Tomo, kapasitas penuh stadion adalah 50.000 orang. Jumlah 64.631 orang artinya hampir 15 ribu orang lebih banyak dibanding kerumunan Bonek yang hadir memenuhi stadion! Itu banyak sekali. Dan kita prihatin dengan kondisi ini.

Tapi jangan lupa, bahwa angka 64.631 itu disandingkan oleh Kemenkes RI dengan angka 2.023.548. Dan bila kedua angka itu dijumlahkan, ketemulah angka 2.088.179. Lalu dari angka total tersebut, hitunglah jumlah orang sembuh ada di kisaran berapa persen?

Ya, hasilnya adalah 93,9% angka persentase kesembuhan dibandingkan kematian!

Persoalannya, dengan tingkat kesembuhan setinggi itu, mengapa narasi-narasi mencekam yang lebih mendominasi hari-hari kita selama pandemi (apalagi sepanjang seminggu terakhir PPKM Darurat ini)? Kemana suara kaum mayoritas itu? Mereka yang diijinkan Tuhan untuk sembuh dan saat ini sudah berkegiatan kembali. Dan jangan-jangan, di antara silent majority berjumlah 93,9% itu ada nama Anda di dalamnya: orang-orang yang menerima kemurahan Tuhan untuk sembuh, namun belum menyaksikan kepulihannya pada siapa-siapa.

Atas dasar itulah BERITA SUKA dibuat.

Tapi bukan tak ada kendalanya lho. Ada yang berkata saya ini malah membuat orang menyepelekan kondisi pandemi. “Santai aja ngapa, wong banyak yang sembuh kok.” Ujung-ujungnya saya dianggap ikut mensupport pengabaian prokes, dll. Ada lagi yang menerima pesan WA dari saya di waktu yang tidak tepat. Sebagai informasi, selain Minje yang bergerak, saya juga secara rutin mengirimkan BERITA SUKA lewat nomor pribadi saya via fasilitas WhatsApp Broadcast. Jadi hanya dengan beberapa kali klik (sesuai dengan jumlah kluster broadcast yang saya buat), pesan tersebar ke ribuan nomor. Di situ saya tak lagi bisa pantau, nomor mana yang sedang mengalami dukacita misalnya. Saya faham, menerima broadcast BERITA SUKA di kala sedang duka nampak kurang pas. Bila itu pernah terjadi pada Anda, saya minta maaf.

Akhir kata, saya selalu terngiang dengan satu ayat Alkitab di 2 Timotius 4:2 “Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran.” Baik atau tidak baik waktunya berarti in any condition. Bukan term and condition apply. Dan bukankah ‘firman’ (Yun: Logos) yang harus dibagikan senantiasa itu adalah juga euangelion (Injil, Kabar Baik).

Selamat terus mengabarkan Kabar Baik (baca: BERITA SUKA) justru di saat-saat yang ‘sulit’ seperti ini. “Baik atau tidak baik waktunya” Kabar Baik harus tetap dishare dengan baik (baca: antusias).

Tuhan Yesus menyertai Anda semua.

Bagikan
Artikel Lainnya
Lihat Artikel Lainnya
5 Orang Membaca