Bacaan: Keluaran 35:1-29
“Enam hari lamanya boleh dilakukan pekerjaan,
tetapi pada hari yang ketujuh haruslah ada perhentian kudus bagimu, yakni sabat, hari perhentian penuh bagi TUHAN ....”
(Kel. 35:2)
Kata sambat dalam bahasa Jawa berarti mengeluh. Pada umumnya, orang mengeluh ketika merasa lelah atau berhadapan dengan situasi yang menghasilkan rasa lelah. Mengeluh tidak selalu berarti buruk. Hal ini justru bagian dari mekanisme diri untuk menjaga kewarasan di tengah pelbagai dinamika kehidupan. Ya, kita membutuhkan waktu sejenak untuk berhenti dari aktivitas, menghela napas dan menyampaikan keluhan dengan sehat pada orang yang tepat.
Salah satu perintah Tuhan kepada umat-Nya adalah Sabat, yakni hari perhentian penuh bagi Tuhan. Umat diminta untuk berhenti bekerja dan menggunakan hari itu untuk melaksanakan ibadah kepada Tuhan. Mengapa Tuhan memberikan Sabat bagi manusia? Karena Tuhan memahami bahwa manusia membutuhkan waktu untuk keluar dari rutinitas pekerjaan yang melelahkan. Dalam perhentian inilah manusia beribadah kepada Tuhan untuk mengingat siapa dirinya di hadapan sang pemberi kehidupan. Untuk membantu umat memahami dan melaksanakan ibadah, maka ibadah memiliki banyak peraturan yang hendak menegaskan adanya jarak antara pencipta dan ciptaan. Jarak yang hanya bisa dijembatani oleh anugerah dari atas.
Tanpa Sabat, kita akan lebih sering sambat. Mari kita bekerja keras di hari-hari yang ada, juga beribadah dengan khidmat pada waktu Sabat, agar keseimbangan hidup kita terjaga dan Tuhan dimuliakan dalam segala perkara.
DOA:
Tuhan, ajarlah kami bukan hanya untuk bekerja keras, tetapi juga untuk merayakan Sabat dengan khidmat. Amin.