“Ketika turun bunyi itu, berkerumunlah orang banyak. Mereka bingung karena mereka masing-masing mendengar rasul-rasul itu berkata-kata dalam bahasa mereka sendiri.” (Kisah Para Rasul 2:6)
Ayat Bacaan: Kisah Para Rasul 2:1-13
Saat saya berkunjung di sebuah gereja untuk beribadah, saya pernah merasa terganggu dengan banyaknya jemaat yang berbicara dengan bahasa asing yang saya tidak pahami artinya. Hal ini sangat mengganggu konsentrasi saya tatkala hendak beribadah kepada Tuhan. Sepanjang ibadah berlangsung, saya mencoba untuk tetap diam dan tidak bertanya pada orang yang bersangkutan mengenai apa arti bahasa tersebut. Barulah setelah selesai ibadah, saya meluangkan waktu untuk berbincang sejenak dengan jemaat di sana. Kagetnya, mereka menjelaskan pada saya bahwa bahasa yang mereka katakan tadi merupakan “bahasa roh.” Saya pun bingung dengan apa yang dimaksud “roh” oleh mereka, apakah Roh Kudus atau roh jahat?
Dari peristiwa itu, saya dituntun Allah untuk kembali mempelajari tentang nats Alkitab yang membahas tentang Hari Pentakosta, yakni yang dipahami sebagai Hari turunnya Roh Kudus atau hari ke-50 setelah Paskah. Jika kita membaca dengan seksama, memang saat itu para Rasul berbicara dengan bahasa-bahasa lain, yang diberikan Roh Kudus untuk mereka katakan (ay. 4). Namun, bahasa lain yang dimaksud rupanya bahasa dari beberapa daerah di luar Galilea, dan itu dimengerti oleh orang lain yang sedang ada di sana pada waktu itu sebagai saksi dari peristiwa Pentakosta. Mereka terdiri dari orang Partia, Media, Elam, penduduk Mesopotamia, Yudea, dan Kapadokia, Pontus dan Asia, Frigia dan Pamfilia, Mesir dan daerah-daerah Libia yang berdekatan dengan Kirene, pendatang-pendatang dari Roma, baik orang Yahudi maupun penganut agama Yahudi, orang Kreta dan orang Arab (ay. 8-11). Selain itu, jelas sekali bahwa bahasa lain yang dikatakan oleh para Rasul tersebut ialah tentang semua hal yang menceritakan perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan Allah (ay. 11).
Setiap kita yang sudah dibaptis dalam air, memang tidak dilarang untuk berbicara dengan bahasa lain, jika memang itu datangnya dari Roh Kudus. Namun, jika bahasa-bahasa lain yang dibicarakan itu tidak dimengerti oleh orang lain, dan apalagi dikatakan sepanjang ibadah berlangsung, mengapa harus dipaksakan juga untuk tetap dikatakan? Apa motivasinya? Ingat, dalam beribadah itu Tuhan melihat kesungguhan hati, bukan kefasihan lidah dalam berbicara dengan bahasa-bahasa lain. YDS
DARIPADA MENGATAKAN BAHASA LAIN YANG TIDAK JELAS ARTINYA, LEBIH BAIK MEMAKAI BAHASA SENDIRI UNTUK MENGAGUNGKAN ALLAH